09 November 2008

Khusu’ dalam Shalat

Para ulama selalu menekankan agar kita mengerjakan shalat dengan khusu’. Apakah yang dimaksud dengan khusu’ itu? Dan apa pula manfaatnya?Khusu’ dalam shalat merupakan perkara yang sangat penting, sebab hal itu merupakan tujuan utama dari shalat yang kita kerjakan. Sesuai dengan firman Allah SWT:
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِيTunaikanlah shalat untuk mengingat-Ku. (QS Thaha: 14)Dalam istilah ahli hakikat, khusu’ adalah patuh pada kebenaran. Ada yang mengatakan bahwa khusu’ adalah rasa takut yang terus menerus ada di dalam hati (Kitab At-Ta’rifat, 98).Lebih jelas lagi, Syeikh ’Ala’udin Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdadi mengatakan, khusu’ dalam shalat adalah menyatukan konsentrasi dan berpaling dari selain Allah serta merenungkan segala yang diucapkannya, baik berupa bacaan Al-Qur’an maupun dzikir. (Tafsir Al-Khazin, juz V, hal 32)Jadi khusu’ merupakan kondisi di mana seseorang melakukan shalat dengan memenuhi segala syarat, rukun dan sunnah shalat, serta dilakukan dengan tenang, penuh konsentrasi, meresapi dan menghayati ayat juga semua dzikir yang dibaca dalam shalat.Dengan cara inilah shalat yang kita lakukan setiap hari akan menjadi khusu’ serta memberikan implikasi yang positif pada kehidupan kita. Yakni mencegah manusia dari perbuatan buruk dan kemungkaran.Allah SWT Berfirman:
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِSesungguhnya shalat itu dapat mencegah dari perbuatan yang buruk dan mungkar. (QS Al-Ankabut: 45)
فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ. الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَCelakalah orang yang melakukan shalat tapi hati mereka luapa apa yang ia lakukan. (QS Al-Ma’un: 5)Melihat arti pentingnya khusu dalam shalat, Syeikh Ali Ahmad aj-Jurjani berkata bahwa ketika seorang hamba telah mampu melaksanakan shalat dengan khusu’ berrarti ia telah sampai pada tingkat keimanan yang sempurna. Sebagaimana disebutkan dalam kitab karangan beliau, bahwa ”sesungguhnya khusu’ dan menghadirkan hati dalam shalat, serta tetangnya anggota (dan melaksanakan sesuai syarat dan rukunnya) merupakan iman yang sempurna.” (Hikmatut Tasyri’ wa Falsafatuhu, juz II, hal 79).Di samping itu, khusu’ merupakan syarat diterimanya shalat di sisi Allah SWT. Dalam kitab Sullam at-Tauufiq disebutkan, ”di Samping syarat-syarat agar shalat dapat diterima di sisi Allah SWT, ... harus menghadirkan hati dalam shalat (khusu’), maka tidak ada pahala bagi seseorang dalam shalatnya kecuali pada saat hatinya datang dalam shalatnya. (Sullam at-Taufiq, 22).Karena itu orang yang melaksanakan shalat, tapi hatinya tidak khusu, maka seakan-akan ibadah yang dilakukan sia-sia, karena tidak diterima di sisi Allah.Namun begitu, harus diakui bahwa khusu’ ini merupakan perkara yang berat sekali. Apalagi bagi kita yang masih awam. Sedikit sekali orang yang mampu khusu’ dalam shalatnya. Kalau kenyataannya seperti itu, maka minimal yang bisa kita lakukan adalah bagaimana khusu’ itu bisa terwujud dalam shalat kita walaupun hanya sesaat. Sebagaimana yang dikatakan Imam Ghazali:”Maka tidak mungkin untuk mensyaratkan manusia agar menghadirkan hati (khusu’) dalam seluruh shalatnya. Karena sedikit sekali orang yang mampu melaksanakannya, dan tidak semua orang mampu mengerjakannya. Karena itu, maka yang dapat dilakukan adalah bagaimana dalam shalat itu bisa khusu’ walaupun hanya sesaat saja.” (Ihya ’Ulum ad-Din, Juz I, hal 161).Kesimpulannya adalah khusu’ dalam shalat merupakan satu kondisi di mana kita melakukan shalat dengan tenang dan penuh konsentrasi, menghayati dan meresapi arti dan makna shalat yang sedang dikerjakan. Dan itu merupakan perkara yang sangat penting, agar ibadah yang kita laksanakan dapat dirasakan dalam kehidupan nyata, tidak semata-mata formalitas untuk menggugurkan kewajiban.
KH Muhyiddin AbdusshomadPengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam (Nuris), Ketua PCNU Jember

Ukhuwah Nahdliyah sebagai Modal bagi Ukhuwah Wathoniyah

Diam-diam bangsa kita saat ini mengalami keretakan. Hal itu tidak hanya diwakili oleh partai-partai politik yang puluhan jumlahnya. Tetapi ketegangan itu juga ditunjukkan munculnya berbagai organisasi sosial maupun keagamaan yang berlainan ideologi. Kelihatan di permukaan mereka rukun, tetapi membawa potensi konflik ketika masing-masing telah mengkonsolidasi diri.Sementara itu kehidupaan sosial kelihatan sangat cair, begitu pula ideologi politik partai-partai yang ada juga sangat cair. Pemerintah sendiri juga sangat tidak memiliki karakter. Di tengah kehidupan dunia yang sangat cair dan semua organisasi juga sangat cair. Kelihatan NU sendiri juga mengalami proses pencairan yang meluas. Tidak adalagi rasa solidaritas kelompok.Pertama hal itu didorong oleh semangat pluralis, tetapi pluralisme tanpa pegangan itu menjadi pluralisme yang tanpa watak, tanpa sikap dan tanpa pendirian, sehingga menjadi pluralisme dan moderasi yang gamang.Padahal ketika semuanya cair, menjadikan semuanya lebur dalam ketiadaan dan mengalami peniadaan diri. dalam situasio semacam itu kalau NU tidak melakukan konsolidasi justeru malah mencairkan diri, maka NU tidak hanya akan kehilangan peran, tetapi juga akan kehilangan jati diri. Karena itu konsolidasi menjadi sangat mendesak dilakuakan dengan mempererat UkhuwahNahdliyah, persaudaraan antar warga NU.Adanya ukhuwah Nahdliyah yang kuat yang dibangun melalui berbagai silaturrahmi, dengan melaksanakan berbagai mekanisme ubudiyah kejamaahan serta melakukan berbagai bentuk kerjasama konkret. Kerjasama ini tidak boleh dilandasi semangat komersial, tetapi perlu dilandasi perasaan persahabatan, sehingga yang terjadi kerjasama, persahabatan bukan persaingan.Penguatan ukhuwah nahdliyah itu akan menjadikan NU solid, sementara dengan soliditas itu NU bisa mengambil peran sangat besar sebagai penyangga keutuhan bangsa yang mulai retak-retak ini. Tetapi membangun ukhuwaah itu sendiri juga tidak mudah, mengingat dalam tubuh NU sendiri juga mengalami keretakan. Kalau hal itu tidak segera dirajut melalui berbagai bentuk silaturrahmi, maka keretakan itu akan merebak menjadi konflik, antara kelompok yang terlanjur maju dengan kelompok yang berusaha mempertahankan kekhasan lama, dan dengan kelompok yang berusaha berdiri di tengah, maju tetapi dengan mempertimbangkan tradisi lama.Mestinya melalui halal bil halal hari raya Fitri ini, Ukhuwah Nahdliyah selayaknya dimulai, sehingga banyak hal bisa dilakukan bersama. Ini juga untuk menampik kesan bahwa saat ini NU kelihatan gerakannya tidak terorganisasi. Masing masing bersikap berdasarkan kepentingan sendiri, yang tidak mewakili kepentingan jamaah dan jam'iyah. Komersialisasi danpolitisasi NU saat ini menjadi keperihatinan di beberapa kalangan.Pembangunan ukhuwah Islamiyah sendiri juga sangat tergantung terbentuknya Ukhuwah Nahdliyah, sebab ukhuwah tanpa adanya rasa percaya diri, dan identitas yang jelas, ukhuwah tidak memiliki arti yang terjadi adalah hegemoni atau ukhuwah kusir kuda. Ini ukhuwah yang eksploitastif, karena itu kiai Wahab Chasbullah memberi peringatan kesar pada nahdliyin agar tidak melakukan ukhuwah secara semnbarangan, sebelum membangun Ukhuwah Nahdliyah.Apalagi tuntutan terhadap Ukhuwah Basyariyah (persaudaraan sesama manusia) yang bersifat universal itu, kalau tidak dilandasi oleh ukhuwah nhdliyah kaum nahdliyin dan bangsa Indonesia ini akan lenyap dalam keseragaman universal. Ini yang sedang dialami oleh para aktivis sosial saat ini, termasuk di kalangan NU, yang kehilangan komitmen nasional dan kemitmen keislaman dan ke-NU-annya.Itulah arti penting dari Ukhuwah Nahdliyah. Ini bukan sebuah fanatisisme tertutup, justeru sebagai modal untuk bergerak keluar, bisa melakukan sesuatu ketika memiliki karakter, sikap dan pendirian. (Abdul Mun'im DZ)

Masalah Pernikahan Dini

Pernikahan dini atau pernikahan di bawah usia ramai diperbincangkan oleh banyak kalangan di negeri ini menyusul berita pernikahan Pujiono Cahyo Widianto alias Syeh Puji, seorang saudagar kaya di Semarang yang berusia 43 tahun, yang menikahi seorang anak gadis berusia 12 tahun. Pernikahan Syeh puji diberitakan besar-besaran di media massa setelah digugat oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Komnas Perempuan.Sebenarnya, dalam fikih atau hukum Islam tidak ada batasan minimal usia pernikahan. Jumhur atau mayoritas ulama mengatakan bahwa wali atau orang tua boleh menikahkan anak perempuannya dalam usia berapapun. Jadi pernikahan Syeh Puji syah secara fikih.Dasar dari itu semua adalah pernikahan Nabi Muhammad SAW dan Siti Aisyah. Beberapa riwayat menyebutkan, Aisyah dinikahkan dengan Nabi pada usia 6 tahun, dan tinggal bersama Nabi pada usia 9 tahun. Sementara waktu itu Nabi sudah berusia senja, sudah 50-an tahun.Namun karena pertimbangan maslahat, beberapa ulama memakruhkan praktik pernikahan usia dini. Makruh artinya boleh dilakukan namun lebih baik ditinggalkan. Anak perempuan yang masih kecil belum siap secara fisik maupun psikologis untuk memikul tugas sebagai istri dan ibu rumah tangga, meskipun dia sudah aqil baligh atau sudah melalui masa haid. Karena itu menikahkan anak perempuan yang masih kecil dinilai tidak maslahat bahkan bisa menimbilkan mafsadah (kerusakan). Pertimbangan maslahat-mafsadah ini juga diterima dalam madzab Syafii.Mereka yang menikahkan anak perempuan pada usia dini biasanya juga berpedoman pada ketetapan mengenai wali mujbir, yakni wali atau orang tua yang boleh memaksa menikahkan anaknya. Istilah wali mujbir hanya ada pada madzhab Syafi’i (dan sebagian Hambali). Pada madzab Hanafi dan Maliki tidak diberlakukan ketetapan ini. Pada madzab Hanafi bahkan hak-hak perempuan dalam pernikahan lebih ditonjolkan.Sebenarnya dalam ketetapan mengenai wali mujbir ini pun tidak mutlaq. Dengan menjadi wali mujbir, bapak tidak boleh serta merta memaksa anaknya untuk menikah dengan seorang laki-laki. Sekali lagi, dalam madzab Syafi’i pertimbangan maslahat-mafsadah juga diterima.Dalam kontek Indonesia, kita punya undang-undang yang mengatur penetapan usia nikah. Undang-undang itu merupakan hasil ijtihad para ulama atau ahli fikih setempat atau kita sebut sebagai ijtihad jama’i, yakni ijtihad yang dilakukan bersama-sama oleh ulama pada suatu tempat dan pada suatu masa.Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa batas minimal usia perkawinan untuk perempuan adalah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun. Lalu juga ada pasal lain yang menyebutkan bahwa pernikahan di bawah usia 21 hanya bisa dilangsungkan dengan persyaratan tambahan.Aturan mengenai usia nikah itu juga ditegaskan kembali dalam PP No 9 tahun 75 dan Instruksi Presiden No 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.Maka terlepas dari persoalan Syeh Puji, yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa ketetapan-ketetapan yang berlaku di lingkungan Pengadilan Agama Republik Indonesia harus dipatuhi. Para wali atau orang tua harus memberikan kesempatan kepada anaknya dalam menuntaskan masa kanak-kanaknya untuk belajar dan beroleh pengalaman bersama-teman-temannya yang lain, sebelum ia bekerja atau menjalani kehidupan rumah tangga.Lebih dari itu, para wali atau orang tua dari anak perempuan juga harus berlaku toleran dan menerima pendapat dari anak perempuannya itu demi kelangsungan masa depannya.
KH Arwani FaishalWakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU